Irwan minta bantuan ustadznya, Zainuddin, untuk mencarikan calon istri. Istri sang ustadz yang sudah mempunyai data akhwat-akhwat yang sudah siap menikah menyodorkan biodata Fitri, salah satu binaan dalam jaringannya, kepada suaminya. Pada saat yang sama Zainuddin memberikan biodata Irwan kepada istrinya.
Irwan dan Fitri telah mendapatkan biodata calonnya masing-masing. Mereka membaca dan mencermati biodata itu dengan sangat serius. Mulai dari tanggal lahir, riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, pekerjaan, penghasilan, hingga foto berwarna ukuran postcard yang dilampirkan dalam biodata itu.
Irwan sangat tertarik dengan biodata Fitri. Usia masih muda, dari keluarga yang sudah haji semua, sarjana dari PTN terkemuka, bekerja sebagai PNS di pemda, berpengalaman sebagai pimpinan harian di beberapa organisasi kampus, dan yang paling menarik hatinya adalah foto Fitri yang tampak sangat cantik dengan jilbab putihnya. Ia hampir tak berkedip memandang foto itu. Angan-angannya melayang jauh membayangkan Fitri menjadi istrinya. Hidup berbahagia, mempunyai empat atau lima anak yang lucu-lucu. Keluarga samara menjadi cita-cita yang rasanya sudah pasti akan ia raih. Tinggal tunggu waktu saja.
Pada saat yang sama dengan saat Irwan membayangkan kehidupan indahnya, Fitri merasa kesulitan menemukan hal yang menarik dari Irwan. Ia sulit mencari alasan apa yang membuatnya merasa perlu menerima Irwan. Ia cermati biodata dengan sedikit menahan nafas. Usia Irwan jauh di atasnya. Terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Bukan tokoh masyarakat, bukan pula orang kaya. Irwan lulusan sebuah akademi yang belum pernah ia dengar namanya, bekerja sebagai penjaga sebuah toko buku kecil di pinggir kota – tepatnya di sebuah gang sempit yang sama sekali tidak bisa dilalui mobil. Pengalaman organisasi ataupun kepanitiaan kegiatan hanya ada beberapa. Itu pun semuanya sebagai seksi perlengkapan. Tidak ada pula daftar prestasi dalam biodata Irwan. Sama sekali tidak ada karya tulis terkait dakwah yang telah ia hasilkan. Foto berwarna ia lihat terakhir. Fitri sempat berharap, semoga Irwan masih punya kelebihan dalam aspek fisik. Barangkali saja wajah Irwan mirip Keanu Reves atau Bradd Pit, bintang film manca yang pernah menjadi idolanya sebelum Fitri mendapatkan hidayah dan serius mengaji Islam. Namun lagi-lagi Fitri harus menelan ludah kekecewaan. Irwan sama sekali jauh dari bayangannya.
Tepat satu minggu setelah acara tukar biodata, Irwan kembali menemui Ustadz Zainuddin. Waktu setelah pengajian ia manfaatkan untuk menyampaikan niatnya untuk segera mengkhitbah Fitri, akhwat yang sekarang sudah menjadi pujaan hatinya. Ustadz Zainuddin mendengarkan dengan serius ucapan Irwan yang sangat bersemangat menyampaikan citanya. “Ehem-ehem”. Ustadz Zainuddin berdehem dua kali. “Akhi. Saya telah menerima jawaban dari Fitri. Ia mengatakan bahwa ia merasa senang menerima biodata antum. Tapi ternyata ia berubah pikiran. Ia ingin melanjutkan kuliah lagi. Jadi, ia tidak bisa menerima pinangan antum sekarang”. Ustadz Zainuddin menyampaikan jawaban dari Fitri dengan hati-hati. “Aduh, bagaimana sih Ustadz? Masak sudah bertukar biodata, tapi kemudian membatalkan? Kalau belum siap, mengapa ia kemarin mau bertukar biodata?” Irwan memprotes jawaban itu. “Afwan ya akhi. Tetapi itulah jawaban Fitri. Ya antum sabar saja. Insya Allah masih banyak akhwat lain yang sudah siap menikah. Antum tinggal pilih saja yang mana”. Irwan tidak terlihat tertarik pada biodata-biodata baru yang disodorkan ustadznya. Ia hanya membaca sekilas, kalau tidak mau disebut tidak membaca sama sekali. Parahnya, perhatian Irwan justru langsung difokuskan pada foto-foto akhwat yang dilampirkan dalam setiap biodata. Semuanya tampak tidak menarik baginya. Tidak ada satupun yang secantik Fitri.
Segera setelah ia sampai di rumahnya, ia langsung menelepon ke hp Fitri. Nomor hp tersebut ia dapatkan dalam biodata Fitri yang telah ia kembalikan. Akan tetapi Irwan sempat mencatat nomor hp itu dalam memory sim cardnya. “Tuut-tuut-tuut”. Tidak terdengar tanda-tanda hp di seberang sana diangkat. Ia coba beberapa kali. Tetap saja tidak ada respon. Akhirnya ia menulis sebuah sms
Engkaulah bidadariku. Yang akan mengisi baitijannati harapanku. Tetapi mengapa tiba-tiba dikau batalkan niat suci itu (Irwan).
Beberapa menit telah berlalu. Tidak ada jawaban sms itu. Hampir dua jam setelahnya baru Irwan mendapatkan sms balasan :
Afwan akhi. Saya telah bersalah kepada antum. Saya telah berlaku dzalim. Namun saya memutuskan memenuhi harapan orang tua untuk kuliah lagi. Dan saya pikir akan sulit jika saya kuliah sekaligus mengurus rumah tangga. Semoga antum segera mendapatkan jodoh akhwat yang cantik, cerdas, sholihah, dan mabdai, serta semangat seperti yang antum harapkan. Afwan katsir. Terus berjuang, Khilafah dan Ridho-Nya menanti kita. (Fitri)
Kata-kata manis dalam sms itu sama sekali tidak bisa memaniskan suasana hatinya. Segera ia tulis lagi sms balasan. Isinya tentu saja PROTES.
Maka hari-hari setelah hari itu ada kesibukan baru antara Irwan dengan Fitri. Tiap hari Irwan mengirimkan sms kepada Fitri. Ada-ada saja akalnya untuk mengirim sms kepada Fitri. Mulai dari bertanya masalah tsaqofah, minta pendapat, sampai curhat. Awalnya Fitri masih membalas sms-sms itu. Tetapi lama-lama ia tidak tahan. Sms Irwan sudah tidak pada tempatnya lagi. Isinya melantur dan tidak ada gunanya. Bukan lagi tsaqofah yang ditanyakan, tetapi justru kiriman puisi-puisi cinta yang justru memuakkan hati Fitri.
Kejadian lain yang membuat Fitri sebal, Irwan mengetahui password email pribadinya. Dan dengan email itu Irwan mengirim beberapa email kepada sahabat-sahabatnya. Isinya, cerita fiktif semua tentang hubungan Fitri dengan Irwan.
Minggu-mingu setelah itu pun akhirnya menyita waktu Ustadz Zainuddin dan istrinya. Mereka pusing bagaimana menyadarkan Irwan untuk tidak mengirim sms aneh kepada Fitri. Juga bagaimana menyadarkan agar Irwan tidak menyebar-nyebarkan kegagalan taarufnya dengan Fitri. Kegagalan yang akhirnya diketahui banyak orang ini memang sangat menyudutkan Fitri. Ia seakan menyandang gelar baru “pengkhianat cinta”. Bahkan yang lebih menyedihkan, muncul juga julukan baru “bekas Irwan”. Ikhwan-ikhwan lain pun menjadi berpikir 100 kali terlebih dahulu jika akan bertaaruf dengan Fitri.
Di sisi lain, Fitri yang merasa stres dengan kejadian itu curhat kepada teman-teman dekatnya yang masih satu kelompok pengajian. Tingkah laku dan perbuatan Irwan pun menjadi diketahui banyak akhwat. Walhasil, nama Irwan akhirnya masuk ke dalam black list para akhwat. Seakan menjadi sebuah kesepahaman para akhwat untuk tidak usah menerima pinangan Irwan sampai kapan pun. Lebih parah lagi, seandainya ada salah satu akhwat yang akan taaruf dengan Irwan, mereka akan mengatakan : “Hati-hati dengan Irwan. Sebaiknya cari ikhwan lain aja deh !”
Kisah selanjutnya bak sinetron yang tidak akan habis dalam 100 episode. Dan tidak penting bagi kita menyimak keseluruhan isi kisah itu. Cukuplah menjadi pelajaran bagi kita bahwa ikhwan dan akhwat adalah manusia yang walau bagaimanapun tetap memiliki nafsu.
Ada beberapa pelajaran dari kejadian semi fiktif dan semi nyata dalam kisah tadi :
Pertama. Tidak perlu jatuh cinta pada calon yang disodorkan. Calon belumlah pasti akan menjadi pasangan kita kelak. Mendapatkan biodata barulah langkah awal sebelum menempuh langkah-langkah selanjutnya. Oleh karena itu, jangan terlalu dini jatuh cinta. Jatuh cintalah pada saat ia sudah menjadi suami/istri anda yang sah.
Kedua. Mak comblang (MC) tidak perlu memberikan biodata masing-masing calon. Walaupun kedua belah pihak yaitu ikhwan dan akhwat memang didesain untuk dijodohkan, tidak berarti dalam proses awal masing-masing pihak mengetahui cukup dalam dan detail calon pasangannya. Cukuplah MC memberikan data-data umum. Apabila data-data umum tersebut menarik perhatian keduanya, barulah data yang lebih detail diberikan. Apabila ketertarikan hanya muncul dari salah satu pihak, maka proses taaruf tidak perlu dilanjutkan. Misalnya si ikhwan tertarik, tetapi si akhwat tidak. Maka ikhwan yang ditolak tetap tidak mengetahui siapa yang menolaknya. Begitu juga akhwat yang menolak, tidak mengetahui siapa ikhwan yang ditolaknya. Maka posisi keduanya tetap aman. Tidak ada label “BEKAS” pada keduanya.
Ketiga. Komunikasi ikhwan-akhwat hendaknya tetap melalui MC. Oleh karena itu, memberikan nomor hp pada awal proses taaruf belum tentu tepat. Lebih baik jika dalam proses-proses awal semua komunikasi dijembatani oleh MC. Hal ini untuk menjaga agar komunikasi mereka tetap dalam koridor syariah. Selain itu adalah untuk mendeteksi secara dini apabila ada masalah dalam proses taaruf mereka.
Keempat. Seseorang yang sudah ditolak tidak perlu mencari-cari alasan untuk berkomunikasi dengan “mantan” calonnya. Ketika sang calon sudah menolak, maka tidak perlu lagi berkomunikasi dengan topik “khusus”. Kalaulah ada komunikasi, itu bukan karena sempat ada proses taaruf sebelumnya, tetapi murni karena adanya kebutuhan yang sama sekali tidak terkait dengan taaruf yang pernah dilakukan.
Kelima. MC hendaknya tidak asal menjodohkan. Sebaiknya memperhatikan bagaimana kriteria dari masing-masing pihak. Jangan hanya karena salah satu pihak sudah lama menitipkan biodata, kemudian MC mendahulukannya. Stok biodata tidaklah sama dengan stok barang dalam toko buah yang menerapkan standar FIFO (First In First Out; barang yang masuk lebih dahulu harus dikeluarkan lebih dahulu). Biodata itu berisi data ikhwan dan akhwat yang ingin membangun keluarga samara dalam baiti jannati. Tentu saja tidak mungkin tatanan ideal itu dapat terwujud jika MC hanya berperan bak penjual buah yang hanya menargetkan dagangannya cepat laku. Stok lama memang perlu diperhatikan, tetapi bukan berarti harus mengorbankan stok baru yang bisa jadi hanya cocok untuk orang tertentu.
Keenam. Rahasiakan aib saudara. Perbuatan ikhwan yang meneror akhwat yang menolaknya memang bukan perbuatan terpuji. Akan tetapi sebisa mungkin dijaga berita itu jangan sampai diketahui orang lain. Kalau toh ada perasaan tertekan dan membutuhkan curhat, sebisa mungkin hanya disampaikan pada orang-orang tertentu yang dipercaya mampu memberikan solusi serta mampu menjaga rahasia. Dalam curhat sebisa mungkin juga tidak usah menyebut nama. Walau bagaimanapun, seseorang yang error pada saat ini, sangat mungkin akan menjadi baik di masa mendatang.
Ketujuh. Hindari memasukkan nama seseorang ke dalam black list. Terkait dengan poin keenam. Seorang ikhwan yang saat ini error, besok bisa menjadi baik. Oleh karena itu jangan anda tutup peluang dia untuk mendapatkan akhwat lain. Adalah tidak adil apabila ia masuk ke dalam black list (sehingga tidak ada satu pun akhwat yang bersedia taaruf dengannya) padahal mungkin saja sekarang ia telah menjadi ikhwan yang baik. Begitu pula sebaliknya. Jangan karena seorang akhwat pernah gagal bertaaruf dengan seorang ikhwan, maka ikhwan-ikhwan lain ikut-ikutan mempermasalahkan akhwat itu.
Demikian beberapa usulan saya terkait tata cara dalam proses taaruf. Semoga bermanfaat. Selamat bertaaruf. Dan semoga anda segera mendapatkan jodoh. Amin.
* Kisah ini terinspirasi oleh beberapa kisah nyata. Akan tetapi, kisah ini telah saya dramatisasi di sana-sini, ditambah-tambahi ceritanya, serta memanfaatkan kalimat-kalimat bergaya hiperbola. Jadi mohon jangan dibayangkan dimana kejadiannya dan siapa orangnya karena memang secara
Bertukar Biodata Di Masa Taaruf. Perlukah ?
8:32 PM |
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
seru ya ceritanya kira2 klw kita taaruf gitu gak ya:)
Post a Comment