About Me

Palembang- Baturaja, Indonsia, Indonesia
aq harus bisa berubah lebih baik n makin dewasa sebab ada pepatah yang mengatakan hari ini harus lebih baik dari kemarin begitu juga besok harus lebih baik darisekarang agar kamu tidak menjadi orang yang merugi, n juga aq tak pernah putus asa dalam menggapai cita2 ku, pokok nye pantang mundur deh maju terus, ok coy,,,,,,,, hai semuanya mari kita budayakan e-learning
copyright :yusufinside@gmail.com

Kalender


Portalnya Keluarga Bahagia
RSS

Petani 'Dikibuli' Presiden

Jakarta - Petani dikibuli. 'Benih kopong' dibilang varietas unggul. Celakanya yang 'ngibul' itu tidak hanya 'orang dekat presiden', tapi juga melibatkan orang nomor satu di republik ini. Inilah 'main-main' yang mempertaruhkan perut jutaan orang.

Para petinggi negeri ini memang suka 'bermain-main'. Apa saja 'dimainkan'. Celakanya, cara memainkannya dengan gaya 'main-main'. Akibatnya, permainan itu menelan korban yang tak terkira. Bisa jadi jutaan orang kehilangan pendapatan. Dan mungkin sampai jutaan orang pula kehilangan nafkah karena gagal panen.

Yang terkuak baru di Grabag, Purworejo, Jawa Tengah. Para petani yang jadi 'mainan' itu semula dibuat mabuk. Mereka 'teler' berat akibat janji muluk-muluk. Benih padi itu sekali tanam bisa panen tiga kali. Yang dihasilkan berlipat-lipat. Gabah hingga 15 ton!

Janji menggiurkan itu makin membuat ngiler saja. Sebab kemunculan benih itu masih ditambah dengan promosi spektakuler. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut dilibatkan. Melakukan panen raya 'padi impian' yang diberi label Super Toy HL-2 itu.

Keterlibatan presiden ini bukan tanpa alasan. Itu karena di belakang benih padi yang disebut varietas unggul itu terdapat orang dekat SBY. Dia adalah Heru Lelono. Malah bisa jadi, akibat 'kedekatan' itu pula, benih padi yang belum bersertifikat itu berhasil lolos ke pasaran.

Petani jadi korban bukan hanya ini kali. Sejak zaman kolonial hingga tiga orde nasib petani memang tetap belum berubah. Di zaman Belanda ada tanam paksa. Orde Lama dimainkan tengkulak. Orde Baru dikadali institusi buatan pemerintah melalui Depkop, Deptan, Bulog, dan Koperasi Unit Desa (KUD). Dan di Orde Reformasi, pakai motto benih hibrida dan varietas-varietas yang disebut unggul.

Petani memang obyek penderita. Secara jumlah mereka mayoritas. Tersebar di hampir desa. Itu bisa dipahami, karena negeri ini masih terbilang agraris. Agraris yang unik. Soalnya tetap tak kunjung mampu memenuhi quota yang dibutuhkan. Dan segala pernik kebutuhan para petaninya tak kunjung dibenahi maksimal.

Sebut saja, irigasi yang selalu mendatangkan masalah. Sarana produksi (saprotan), utamanya pupuk sering mahal dan langka. Jaringan, distribusi serta institusi yang menangani, ruwet dalam operasional. Dan soal benih? Ini yang terus-terusan jadi ajang 'bisnis fee dan upeti'. Jadi jangan heran jika sudah ratusan tahun bergelut lumpur, nasib petani semakin terpuruk. Bertani bukan untung tapi justru buntung.

Telah banyak organisasi yang mengatasnamakan petani. Tapi semuanya mandul. Itu karena pengurus organisasi ini terbanyak bukan petani. Kalaulah ada yang petani, mereka tergolong petani mapan. Petani yang tidak bisa disebut petani, karena tinggal ongkang-ongkang saja, duit sudah berdatangan.

Organisasi petani itu 'ompong'. Organisasi ini hanya semacam simbol, bahwa para petani sudah berorganisasi dan terwakili. Padahal dalam banyak kasus, justru organisasi ini digunakan sebagai corong untuk 'mendelet' berbagai persoalan yang mendera petani. Jadi jangan kaget jika petani terus jadi bulan-bulanan produsen benih, produsen pupuk, dan oknum-oknum aparat yang rakus 'uang haram'.

Bagaimana dengan banyaknya partai politik yang gembar-gembor memakmurkan petani? Rasanya kok idem dito. Mereka hanya mencari simpati para petani, agar dalam pemilihan umum mendatang suaranya disumbangkan. Sebab itikad baik itu selama ini cuma di mulut. Belum ada tanda-tanda memperjuangkan kesulitan yang dihadapi petani.

Petani memang kaum lemah. Dia harus diselamatkan dari jerat yang terus melilitnya. Tapi siapa? Toh semuanya selalu mencari keuntungan finansial dan keuntungan secara politik?

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.(iy/iy)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: