Jakarta - Betapa indahnya suasana shalat berjamaah. Lihatlah masjid-masjid yang dipenuhi dengan jamaah. Terutama di awal-awal bulan Ramadan seperti sekarang ini. Namun, tidak semua jamaah itu bagus.
Setidaknya ada istilah "korupsi berjamaah" yang begitu membudaya sejak zaman orba. Istilah "korupsi berjamaah" sebenarnya untuk menggambarkan hasil korupsi yang acapkali tidak dimakan sendiri oleh sang koruptor.
Ada kebiasaan di negeri ini. Uang korupsi tidak pernah seluruhnya dimakan sendiri oleh koruptor. Uang korupsi itu sengaja dibagi-bagi kepada orang banyak agar sama-sama menikmatinya. Si koruptor "membagi dosa" kepada orang-orang di sekitarnya.
Caranya beragam. Bisa membagi-bagikan kepada sesama pegawai. Bisa juga membagi uang itu kepada panitia pembangunan tempat ibadah, membantu korban gempa, lembaga amal, atau pengurus partai politik. Atau bila sedang musim kampanye, bisa saja ikut menggelontorkan dana kampanye. Siapa tahu kelak berimbas positif pada dirinya.
Kebiasaan itu membuat koruptor bagai 'sang penyelamat' bagi banyak orang.
Seolah-olah koruptor ikut mengatasi pengangguran. Koruptor membuat para fakir miskin bisa makan lebih banyak dari biasanya. Koruptor ikut mengurangi pusing para politisi lantaran bingung mencari dana kampanye.
Begitu pun mereka yang memperoleh jatah uang korupsi itu tidak pernah menyadari kenikmatan itu sebagai hasil korupsi. Orang-orang hanya tahu 'sang penyelamat' adalah dermawan. Begitu 'sang penyelamat' ditayangkan televisi dengan tuduhan korupsi, atau dimuat surat kabar, mereka seolah tak percaya.
Bagi si koruptor bagi-bagi uang korupsi merupakan salah satu trik untuk meringankan perasaan bersalah. Kalau uang korupsi dimakan sendirian, perasaan bersalah ditanggung seluruhnya.
Beginilah watak "korupsi berjamaah". Kalau mau memberantas korupsi sampai akar-akarnya, maka jangan hanya "imam" yang diseret ke pengadilan. Para "jamaah" juga patut diperiksa. "Jamaah" bukan berarti pegawai atau orang orang selevel.
Bisa saja "jamaah" itu menyentuh nama-nama keramat yang tergolong elite pemerintah atau elite politik.
Barangkali untuk memberi gambaran jelas soal ini kita bisa tengok kembali kasus korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Dalam sebuah Refleksi Joglosemar menyatakan kasus ini menggelinding ibarat bola liar.
Begitu tersangka korupsi mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri bersuara, maka bola liar itu membentur beberapa nama yang selama ini dicitrakan punya rekam jejak bagus. Suara Rokhmin itu juga yang meyakinkan kita bahwa "korupsi berjamaah" berlaku di departemen itu.
Kebanyakan koruptor memilih bungkam. Tetapi, Rokhmin lain. Ia berani berterus terang uang hasil korupsi dinikmati ramai-ramai dan tidak tanggung-tanggung yakni para tokoh yang bertarung memperebutkan kursi presiden. Gara-gara Rokhmin pula khalayak jadi tahu bahwa calon-calon pemimpin di negeri ini lebih suka berteriak, "Berantas korupsi!", "Selamatkan rakyat!", atau "Penjarakan koruptor!", tetapi mereka tidak pandai keluar dari lingkaran permainan "“korupsi bejamaah".
Mereka terlibat dalam permainan "berbagi dosa" para koruptor. Dalih mereka, "Saya blank", "Tidak ada nama itu dalam tim sukses", "Ada orang menyumbang ya diterima."
Rokhmin hanya bagian kecil dari koruptor yang mau bersuara. Ia agaknya
beranggapan, jangan yang lain sekedar menikmati uang korupsinya. Tetapi, juga musti ikut bertanggung jawab.
Rokhmin punya keberanian dibandingkan para koruptor lainnya. Kalau saja para koruptor lain punya keberanian serupa, bisa jadi "nama-nama suci" yang kita puja-puji selama ini akan terseret permainan korupsi tersebut.
Korupsi Berjamaah
8:48 PM |
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment